#30harimenulis_29
“Yatim
Piatu”
Sempat buka fb dan baca status
tentang penyesalan seorang bapa atas sikap anak sulungnya yang sekarang
menginjak usia 12 tahun memiliki sikap jauh berbeda dengan saudara-saudaranya. Setelah
dibaca secara keseluruhan ternyata anak sulungnya itu memang memiliki sifat
yang lebih pendiam dan penyendiri, berbeda dengan adiknya yang periang dan
senang bergaul. Selidik punya selidik, diketahui bahwa sikapnya itu sudah ada
sejak lama, yah sejak dia dititipkan kepada neneknya karena bapa dan ibunya
berjauhan. Sang bapa bekerja, sedangkan sang ibu mendapat beasiswa S2 di luar kota. Sang anak
dititipkan sejak balita, sang nenek pun bercerita pada bapanya bahwa sang anak
setiap sore selalu berdandan rapi dengan sepatu berharap bapanya akan pulang
dan mengajaknya jalan-jalan. Namun hal itu tidak pernah kunjung datang, sampai
sang anak lelah dan tertidur lengkap dengan baju rapih dan sepatunya.
Sang bapa merasa bersalah dan
berharap waktu bisa berputar kembali, berharap dia dan istrinya bisa menemani
sang anak “yatim piatu”. Yah dia anak “yatim piatu” yang memiliki ibu dan bapa
namun tidak pernah memiliki waktu mereka karena kesibukan keduanya. Namun apa
daya, semua sudah terjadi. Ini karena kurangnya perhatian dan kasih sayang juga
waktu orangtua terhadap anaknya. Sang anak yang masih kecil yang tidak mengerti
apa-apa menjadi anak yang pendiam dan penyendiri. Mungkin inilah yang namanya
pilihan hidup, tapi waktu tidak akan bisa kembali. Penyesalan selalu datang
terlambat.
Begitulah kurang lebih garis
besarnya, sang anak “yatim piatu” yang sekarang ini banyak dimana-mana. Ini memang
dilema bagi orangtua terutama ibu, disatu sisi dia ingin memberikan seluruh
waktunya untuk membesarkan sang anak, disatu sisi keadaan lah yang memaksa ibu
menjadi seorang pekerja dan pada akhirnya menitipkan sang anak pada nenek kakek
atau daycare. Banyak orang yang
nyinyir pada status ibu pekerja tapi banyak pula yang nyinyir pada status ibu
rumah tangga. Keduanya tidak ada salahnya kok, itu pilihan. Dan saya yakin
semua ada konsekuensinya dan semua orang yang memilih jadi IRT atau Ibu Pekerja
sudah tau konsekuensinya.
Saya juga termasuk anak “yatim
piatu”, kedua orangtua saya sibuk dengan pekerjaan mereka. Saya sempat ingat
kalau ibu punya pembantu untuk mengasuh saya dan saudara-saudara saya. Tapi
saya rasa hanya sebentar, dari mulai sebelum masuk SD, saya selalu dititipkan
tetangga jika ibu saya bekerja. Ayah saya kebetulan dinas di luar pulau, pulang
hanya satu/dua tahun sekali. Saya ingat saat itu saya dan adik kecil saya yang
belum bersekolah tertidur di halaman rumah karena rumah kami terkunci, sampai
tetangga membawa kami ke rumahnya. Terkadang saat ibu harus pergi ke luar kota
ikut ayah dinas, kami dititipkan ke rumah kakek nenek.
Jadi anak “yatim piatu” itu tidak
enak, karena waktu bersama orangtua hanya sedikit. Mungkin dulu saat kecil
tidak terlalu berasa karena kita masih punya teman bermain. Berbeda dengan
sekarang yang semuanya gadget, dan kurangnya teman bermain. Saya tidak pernah
main ke kebun binatang, sayapun tidak pernah pergi ke tempat wisata bersama
orangtua. Mereka terlalu sibuk bekerja, dan kalaupun libur dipakai untuk
tinggal dirumah. Yah begitulah, tapi itu tidak masalah karena kami punya teman
bermain. Jaman dulu kami masih sering main petak umpet, galah, main karet,
sepak bola, dan permainan jaman dulu yang sekarang sudah hilang digantikan
gadget.
Seiring pertambahan usia, saya
merasa hampa dan iri melihat anak kecil yang bermain bersama orangtua mereka. Jalan-jalan,
makan, membeli boneka, saya sangat iri karena dulu saat saya kecil tidak
begitu. Saya menjadi pribadi yang pendiam, penyendiri, dan acuh pada orang
lain. Dulu saya hanya berpikir saya sendiri. Teman sekolah saya mungkin tau
kalau saya di sekolah pendiam, pemalu dan penyendiri, tidak suka bergaul. Hanya
punya teman itu-itu saja. Saya seorang kutu buku yang hanya pergi ke sekolah
lalu pulang, tidak pernah ikut kegiatan sekolah seperti pramuka, pmr ataupun
osis. Saya lebih nyaman sendiri. Begitulah saya sampai saya beranjak SMA. Alhamdulillah
walau saya pendiam dan pemalu saya punya banyak teman dan sering dijadikan
teman curhat oleh mereka. Saya pendengar yang sangat baik, mungkin karena saya
pendiam ^^.
Beranjak kuliah, saya kuliah di
luar kota. Masih pendiam tapi mulai membuka diri dan bergaul. Begitu sampai
saya mulai bekerja. Dan sifat kanak-kanak saya mulai muncul, saya selalu ingin
bermain permaian anak kecil, perosotan, main bola, dan membeli boneka. Itu semua
adalah luapan emosi masa kecil saya. Entahlah selalu iri melihat orang yang
dekat dengan orangtua mereka, melihat anak TK saja saya merasa iri. Kenapa saya
tidak seperti itu? Semua rasa kesal dan iri saya tumpahkan dengan membeli
boneka dan permaian anak kecil yang dulu saya tidak pernah mainkan. Sifat kekanakan
saya masih ada walau saya sudah menikah. Pergi ke tempat permainan anak-anak,
membeli boneka, main ayunan, bahkan main perosotan saya masih lakukan jika
pergi ke taman bermain.
Saya resign dari pekerjaan saya
setelah menikah, sebenarnya 1,5 tahun saya jadi pengganguran sejak menikah. Tetiba
saat semua bisa saya beli dengan sendiri harus saya stop karena penghasilan
hanya dari suami. Tadinya setelah menikah ingin segera mempunyai momongan, tapi
Tuhan berkehendak lain. Sekarang setelah menikah 3 tahun, kami masih berdua. Saya
percaya rejeki saya pasti dan tetap ada. Entah itu lewat suami atau orang
lain. Siapa bilang jadi IRT tidak bisa
belanja ini itu? Buktinya saya masih bisa belanja apa yang saya mau, rejeki
saya alhamdulillah selalu ada. Tidak pernah kekurangan dan alhamdulillah saya
bersyukur setelah resign justru rejeki yang dapatkan selalu melimpah. Suami pun
tidak pernah memaksa saya untuk bekerja kembali.
Saya mencoba menjadi IRT karena
saya tidak ingin kelak anak saya menjadi anak “yatim piatu”. Saya sudah
merasakan tidak enaknya jadi anak “yatim
piatu”. Rasa iri, kesal, marah, semuanya hanya dipendam didalam hati karena
saya hanya anak kecil saat itu. Beruntung saya lahir pada jaman dulu yang masih
jauh dari teknologi, jadi saya tidak terlalu kesepian karena masih ada
teman-teman sebaya yang bisa diajak bermain. Lihatlah sekarang? Anak-anak sudah
mandiri dan jadi selfish dengan
adanya gadget. Mereka jadi kurang bergaul dan kurang empati terhadap sesamanya.
Jadi IRT atau Ibu Pekerja itu
adalah pilihan, tapi sangat disayangkan jika masa emas mereka terlewat karena
kesibukan kita mencari materi. Tapi itu semua kembali lagi pada keadaan, semua
adalah pilihan. Saya rasa semuanya baik itu IRT dan Ibu pekerja sama-sama
hebat. Mereka sama-sama berjuang, berjuang yang terbaik untuk anak-anak mereka.
Psikologis anak dibentuk dari kecil, besarnya dia akan jadi seperti apa itu
dimulai dari pendidikan sejak mereka dini. Itulah mengapa peran ibu dan ayah
sangat penting bagi mereka. Sesibuk apapun ibu bapa bekerja, jangan lupa untuk
selalu meyempatkan waktu menemani mereka bermain, mengerjakan PR ataupun
sekedar menonton kartun bersama dan membacakan dongeng tidur.
Semoga anak-anak kita kelak
menjadi probadi yang baik, yang sholeh, dan selalu menjadi kebanggan keluarga.
Komentar
Posting Komentar